Junk Food vs Pangan Lokal
July 4, 2014The Health for All – JKN
July 4, 2014AMERIKA SERIKAT: ”Kendati tingkat kehamilan remaja menurun, 4 dari 10 remaja putri menjadi hamil setidaknya satu kali sebelum mereka mencapai usia 20 tahun.”—Whatever Happened to Childhood? The Problem of Teen Pregnancy in the United States, 1997.
MALAYSIA: ”Anak-anak yang dilahirkan di luar nikah di negeri ini telah meningkat sejak tahun 1998 oleh ibu yang sebagian besar berusia di bawah 20 tahun.”— New Straits Times – Management Times, 1 April 2002.
RUSIA: ”Hampir sepertiga dari semua bayi yang lahir di Rusia tahun lalu dilahirkan oleh ibu-ibu yang tidak menikah, dua kali lipat persentase satu dekade sebelumnya dan pada tingkat yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia II, menurut statistik pemerintah. Lebih dari 40 persen bayi-bayi ini dilahirkan oleh remaja.”—The Moscow Times, 29 November 2001.
Rasa-rasanya kita sudah tidak menjumpai kata tabu lagi dalam masyarakat ketika kita menyebut kata ‘kehamilan remaja’. Tercatat sebanyak 750.000 remaja perempuan di Amerika hamil tiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Australian National University dan Universitas Indonesia terhadap 3.600 responden, didapatkan angka sebesar 20,9 persen remaja Indonesia pernah hamil di luar nikah. Hal ini tidak hanya memicu keprihatinan di bidang sosial, budaya, agama, dan moralitas saja, tetapi bidang kesehatan pun mengkritisi fenomena dunia ini.
Lalu, bagaimana hal ini bisa menjadi kasus yang mendunia? Tentunya banyak sekali faktor yang berperan, terlebih dilihat dari sisi psikologi. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kejadian ini diakibatkan oleh tidak harmonisnya hubungan antaranggota keluarga, rasa percaya diri dan ingin tahu yang berlebihan, serta kurangnya pengetahuan mengenai seks dan kehamilan –sosiolog Karen Rowlingson dan Stephen McKay mengungkapkan hal itu sebagai salah satu pemicu di Inggris yang notabene menjadi negara dengan peningkatan kasus kehamilan remaja tertinggi di kawasan Eropa Barat-. Sementara itu, dua peneliti asal Australia, Ailsa Burns dan Cath Scott, mengatakan bahwa sanksi sosial, agama, dan ekonomi terhadap anak muda yang melakukan seks di luar nikah telah berkurang. Pernyataan Burns dan Scott ini mendukung teori bahwa saat ini kasus pemerkosaan juga meningkat dan menjadi salah satu penyebab terjadinya kehamilan remaja.
Terlepas dari peliknya kasus kehamilan remaja yang mendunia, kita seharusnya juga meninjau dengan seksama efek negatif yang diderita oleh tiap individu yang mengalaminya. Kehamilan remaja nampaknya memiliki risiko kesehatan yang tinggi dan banyak dari remaja kurang mengetahui hal tersebut. Kebanyakan kasus kematian pada ibu-ibu muda adalah karena pendarahan –akibat lemahnya otot rahim dalam proses involusi maupun sobeknya otot-otot di sekitar vagina-, infeksi, anemia, preeclampsia dan eclampsia, tenaga medis yang kurang profesional, persalinan yang lama dan sulit –akibat disproporsi cephalopelvix, posisi bayi, kurangnya tenaga mengejan-, serta aborsi dalam bentuk disengaja maupun tidak disengaja akibat syok, cemas maupun takut yang dapat berujung pada kematian. Kurangnya kematangan emosi dan pengetahuan tentang perawatan kesehatan prenatal dan selama kehamilan merupakan penyebab utama. WHO memperkirakan, risiko kematian ibu berusia 15-19 tahun adalah 2 kali lebih tinggi dari ibu berumur 20-24 tahun.
Sementara itu, kerugian yang diderita bayi tidak kalah tingginya. Kehamilan remaja sering mengalami labor preterm atau kelahiran prematur, yaitu ditandai dengan spontanitas frekuensi kontraksi uterus yang semakin tinggi, dilatasi cervix dan vagina, terakumulasinya massa dan pengeluaran fetus sebelum kehamilan mencapai 37 minggu. Kelahiran prematur ini berdampak tidak sehat pada bayi karena terkadang berat badan bayi tidak mencukupi (minimal 2.500 gram), bayi iatrogenic, komplikasi prematuritas, rentan cedera, sindrom kematian bayi (SIDS), dan otak yang kurang berkembang. Penyebab dari preterm labor adalah kurangnya nutrisi yang dibutuhkan janin dalam kandungan. Selain itu, dapat dimungkinkan pula janin yang dilahirkan tersebut tertular penyakit menular seksual yang diderita oleh ibu (dari 12 juta pengidap PMS, 25% adalah kaum muda).
Dengan membahas faktor-faktor risiko kehamilan pada remaja maka kita menjadi lebih teredukasi mengenai wabah ppandemik dunia saat ini. Hal ini bukan hanya harus diperbaiki mengingat tingginya angka kematian pada ibu dan anak, namun juga harus dicegah agar generasi muda tetap berkembang sesuai usianya. Banyak organisasi dunia yang mulai fokus untuk menangani masalah kehamilan remaja ini, seperti The Children’s Aid Society (http://www.childrensaidsociety.org) yang mengembangkan metode eksplorasi remaja dan anak-anak terhadap pendidikan dan talenta serta menyokong orang-orang di sekitar subjek atau seperti The American College of Obstetrics and Ginecology yang memberikan pendidikan berbasis kesehatan kepada keluarga dan remaja. Ada pula yang menggunakan berbagai macam poster untuk mengurangi angka kehamilan remaja di dunia seperti The Candies Foundation. (Yulianna Cahya Nuraini)
(Image credit: Alfian Rismawan)