Pintar dengan Berolahraga
July 4, 2014Travel Disease yang Bisa Dicegah
July 4, 2014Pernahkan Anda mendengar tentang talasemia? Dan tahukah Anda bahwa salah satu penyakit anemia tersebut dapat diturunkan secara genetik?
Adalah talasemia, suatu kelainan pada darah dengan karakteristik anemia (jumlah sel darah merah yang lebih rendah daripada normal atau rendahnya kadar hemoglobin dalam darah) yang bersifat diturunkan dari orang tua ke anaknya. Anemia yang terjadi pada penderita talasemia menyebabkan penderitanya mudah letih, lesu, dan lelah karena pada anemia terjadi gangguan pengangkutan dan distribusi oksigen yang merupakan sumber energi bagi sel-sel tubuh. Pada talasemia, kondisi anemia tersebut diturunkan karena adanya suatu gen resesif autosomal yang menyebabkan terganggunya produksi hemoglobin darah (suatu protein yang menyusun sel darah merah yang memiliki peran utama dalam pengangkutan oksigen dalam darah).
Hemoglobin yang menyusun sel darah merah terdiri dari heme (gugus besi) dengan 4 rantai asam amino (2 rantai amino alpha dan 2 rantai amino beta) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Pada talasemia, terjadi kegagalan dalam pembentukan rantai asam amino tersebut yang ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin dan adanya kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari).
Berdasarkan jenis rantai asam amino yang gagal dibentuk, talasemia dibagi menjadi talasemia alfa dan talasemia beta. Disebut sebagai talasemia alfa yaitu apabila rantai asam amino yang gagal dibentuk merupakan rantai asam amino alfa sementara pada talasemia beta terjadi kegagalan pembentukan rantai asam amino beta.
Berdasarkan tingkat keparahan, talasemia dibagi menjadi talasemia trait (bawaan atau minor), talasemia intermedia, dan talasemia mayor. Pada penderita talasemia trait (atau talasemia minor), hampir tidak tampak adanya gejala anemia atau terdapat gejala anemia ringan dan sering hanya sebagai pembawa gen talasemia yang dapat diturunkan kepada keturunannya. Pada talasemia intermedia, dapat terjadi anemia berat dan beberapa masalah berat seperti deformalitas tulang dan pembengkaan limpa, dibedakan dari talasemia mayor berdasarkan ketergantungan penderita pada transfusi darah. Manifestasi parah talasemia terjadi pada talasemia mayor di mana penderitanya mendapatkan dua gen resesif talasemia dari kedua orang tuanya dengan gejala yang dapat muncul sejak awal masa anak-anak sehingga umur hidupnya menjadi terbatas. Gejala yang dapat terjadi meliputi anemia hemolitik (anemia yang terjadi akibat lisisnya sel darah merah), pembesaran limpa dan hati akibat anemia yang lama, perut membuncit, sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkulus/borok), batu empedu, lemas karena kurang nafsu makan, pucat, lesu, sesak nafas karena jantung bekerja berat, pembengkakan tungkai bawah, dan pertumbuhan lambat (berat badan kurang). Pada talasemia mayor, penderita membutuhkan transfusi darah rutin untuk dapat bertahan hidup. Akan tetapi, transfusi darah yang dilakukan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan penumpukan zat besi yang dapat mengganggu fungsi beberapa organ tubuh penderita sehingga penderita juga harus mengonsumsi obat-obatan tertentu untuk mengatasi efek samping tersebut.
Manajemen penderita talasemia terutama talasemia mayor adalah berupa transfusi darah rutin untuk menjaga kadar hemoglobin darahnya normal (±12 gram/dL) dan pemantauan kadar zat besi melalui pemeriksaan ferritin serum. Pada penderita talasemia intermedia dan yang mendapatkan transfusi darah rutin dapat terjadi kelebihan kadar zat besi dalam tubuh sehingga dibutuhkan medikasi dengan deferasirox untuk menurunkan kelebihan kadar zat besi.
Pada beberapa kasus, penanganan terhadap talasemia mayor juga dapat dilakukan dengan transplantasi sel punca (disebut juga transplantasi sumsum tulang). Tindakan dilakukan pertama-tama dengan menghancurkan sumsum tulang yang tidak sehat menggunakan obat-obatan dosis tinggi atau radiasi, lalu penderita akan menerima infusi sel-sel punca dari donor yang sesuai. Akan tetapi, risiko dari tindakan ini sangat besar karena dapat menyebabkan kematian sehingga penanganan dengan cara ini lebih diperuntukkan kepada orang dengan penyakit yang sangat parah yang memiliki ketersediaan donor yang sesuai seperti misalnya saudara kandung.
Saat ini, tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui apa itu talasemia, padahal talasemia merupakan penyakit genetik dengan angka kejadian terbanyak, perkiraan 250 juta di seluruh dunia, dan jumlahnya akan terus meningkat karena dapat diwariskan kepada keturunannya. Frekuensi pembawa sifat talasemia di Indonesia cukup tinggi yakni sekitar 6 – 10 orang di antara 100 orang penduduk Indonesia. Berdasarkan temuan riset, di dunia ini terdapat ± 300 ribu anak per tahun lahir dengan talasemia dan ± 250 juta orang pembawa sifat. Sedangkan menurut data RSCM Jakarta tahun 1959 dilaporkan terdapat 23 kasus talasemia, tahun 1979 menjadi 250 kasus, tahun 2004 menjadi 1120 kasus, tahun 2010 menjadi 1500 kasus dengan pertambahan per tahunnya sekitar 70 – 80 kasus baru. Sedangkan menurut data RSHS Bandung, pada tahun 2008 terdapat 372 kasus, 2009 menjadi 450 kasus, 2010 menjadi 569 kasus, 2011 mencapai 656 kasus. Di samping itu, RSUD Kota Tasikmalaya mencatat semenjak tahun 2005 hanya terdapat 40 – 50 kasus talasemia, tahun 2013 terdapat 137 kasus dengan rata-rata penambahan ± 15 – 20 kasus baru per tahun.
Data epidemiologi di atas menunjukkan bahwa talasemia tidak dapat diabaikan, terlebih karena kejadiannya bersifat genetik dan seiring dengan perjalanannya dapat menjadi fatal. Diperlukan adanya kesadaran dan pengetahuan dari masyarakat terhadap penyakit ini sehingga beban penyakitnya dapat ditekan, di mana salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan cara skrining/pemeriksaan awal untuk mengidentifikasi pembawa sifat talasemia dan mencegah perkawinan diantara sesama penderita/pembawa sifat talasemia.
Selain itu, pemeriksaan prenatal dapat dilakukan untuk mengetahui apakah bayi yang ada dalam kandungan memiliki talasemia sekaligus menentukan keparahannya. Pemeriksaan dapat dilakukan menggunakaan penyampelan vilus korionik (prosedur pengambilan sampel kecil jaringan dari plasenta) pada sekitar minggu ke-11 kehamilan dan amniosentesis (prosedur pengambilan sampel cairan amnion) pada sekitar minggu ke-16 kehamilan. Sampel yang didapat kemudian diperiksa genetiknya. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan sedini mungkin sehingga dapat segera dilakukan manajemen yang tepat. Akan tetapi, pemeriksaan ini kurang dapat diaplikasikan di masyarakat karena mahal.
Ketika kedua orang penderita/pembawa sifat talasemia sudah terlanjur menikah dan merencanakan untuk memiliki anak, pencegahan munculnya talasemia pada anak mereka dapat dilakukan dengan teknologi reproduksi berbantuan. Tindakan tersebut mengombinasikan diagnosis genetik pra-implantasi dengan fertilisasi in vitro. Prosedur dilakukan di laboratorium di mana telur-telur dari istri difertilisasi oleh sperma suami pada suatu cawan. Embrio yang terbentuk dari fertilisasi diperiksa apakah terdapat gen yang mengalami defek atau kecacatan dan hanya embrio tanpa kecacatan genlah yang kemudian diimplantasi di rahim istri. (Vifiana Lie)
(Image credit: Yulianna Cahya Nuraini)