Kemeriahan Hari Dokter Nasional 2016!
November 20, 2016A Spoonful Less To Perfection
January 22, 2017The only way of fighting AIDS is through prevention, and the only way of prevention is through education
Di Indonesia, sejak pertama kali ditemukannya infeksi HIV pada tahun 1987, HIV tersebar di 368 dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi, dengan Pulau Bali sebagai provinsi pertama tempat ditemukannya infeksi HIV/AIDS di Indonesia. Menurut UNAIDS, di Indonesia ada sekitar 690 ribu orang pengidap HIV sampai tahun 2015. Dari jumlah tersebut, setengah persennya berusia antara 15 hingga 49 tahun. Wanita usia 15 tahun ke atas yang hidup dengan kondisi HIV sekitar 250 ribu jiwa. Angka kematian akibat AIDS mencapai 35 ribu orang. Dengan demikian terdapat anak-anak yatim piatu akibat kematian orang tua karena AIDS berjumlah 110.000 anak.
Hingga saat ini, infeksi HIV masih belum bisa disembuhkan. Pengobatan yang ada saat ini hanya dapat memperlambat perkembangan dari penyakitnya. Maka dari itu, salah satu langkah penting yang dapat dilakukan untuk menghindari persebaran infeksi HIV adalah melalui diagnosis dini. Namun, usaha untuk melakukan langkah pencegahan ini menjadi terhambat dikarenakan munculnya stigma dan diskriminasi sosial yang ditujukan pada orang-orang yang terinfeksi HIV. Beberapa penelitian menyatakan bahwa banyak orang yang takut untuk menjalani pemeriksaan HIV karena adanya persepsi tertentu pada masyarakat mengenai orang yang terkena infeksi HIV. Selain itu, orang yang mengidap HIV juga menjadi takut untuk mengungkapkan statusnya sebagai pengidap HIV kepada keluarga serta orang-orang terdekatnya, dan menghambat orang tersebut untuk mendapatkan pengobatan yang diperlukan.
Namun sekarang, hal tersebut seharusnya bukan lagi menjadi sesuatu yang menghambat seseorang untuk mengetahui statusnya, karena adanya layanan tes HIV yang tidak hanya menjaga kerahasiaan serta privasi pasien tetapi juga menyediakan konseling yang dibutuhkan untuk menunjang proses pemeriksaan serta pengobatan pasien yang disebut dengan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau bisa juga disebut Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS).
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan terkait HIV/AIDS. Tidak hanya itu, konseling dalam VCT juga membantu mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS. Kegiatan konseling ini bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku yang lebih sehat dan lebih aman kedepannya.
Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) memiliki tiga tahapan, yaitu pre-test counseling, HIV testing, dan post-test counseling. Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling seks yang aman.
Tahapan yang kedua adalah HIV testing. Pada umumnya, tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi dalam darah seseorang. Antibodi adalah suatu zat yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh manusia sebagai reaksi untuk membendung serangan bibit penyakit yang masuk. Jika seseorang memiliki antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu telah terinfeksi HIV. Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test, dan Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik.
Tahapan terakhir dalam VCT adalah post-test counseling. Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien. Tidak hanya itu, konselor juga akan membantu klien beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara jelas, dan menilai pemahaman mental emosional klien. Hal-hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, dan membuat perencanaan dukungan.
Berdasarkan dari definisi VCT yang sudah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa individu dikatakan memanfaatkan layanan VCT jika dia tahu informasi mengenai layanan VCT dan mau menggunakan layanan VCT untuk tujuan yang bermanfaat. Dengan demikian pemanfaatan layanan VCT adalah sejauh mana orang yang pernah melakukan perilaku beresiko tinggi tertular HIV/AIDS merasa perlu menggunakan layanan VCT untuk mengatasi masalah kesehatannya, untuk mengurangi perilaku berisiko, dan merencanakan perubahan perilaku sehat.
by Tissavionica Putri
Sumber :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33125/3/Chapter%20II.pdf
http://www.alodokter.com/hiv-and-aids
http://www.unaids.org/en/resources/documents/2014/ReductionofHIV-relatedstigmaanddiscrimination