KUMBANG x KENYANG ― 2nd Intervention
February 19, 2022PDT (Pre-Departure Training)
February 20, 2022Resah Dalam Riset: Perkara Dana dan Integrasi Institusi
Muhammad Maulana Zakki – Advance CIMSA Trainer
Tanya Dibalik Nasib Eijkman
‘Naas. Lembaga Eijkman kini masa depannya tidak menentu di dalam naungan BRIN.’
‘Untuk apa, sih, pakai ada acara integrasi segala?’
Begitu tampaknya kebingungan (yang umum bermanifestasi sebagai kekecewaan) masyarakat Indonesia. Namun, pertanyaan yang timbul cukup valid, bukan? Sebenarnya, ada apa, sih, yang terjadi hingga suatu lembaga riset yang sudah berdiri sejak 1888 dan menerbitkan 59 penelitian internasional mendapati hal tersebut? Nah, ini sebetulnya merupakan salah satu muara dari permasalahan yang sudah cukup pelik di Indonesia. Yuk! Kita coba pasang kaca mata netral dan bahas bersama: pendanaan riset di Indonesia! Hehe, sedikit menggiring topik, tetapi percaya, deh, ini seru banget.
Belum lama, ruang maya Indonesia sempat diramaikan oleh berita duka diberhentikannya 113 tenaga kerja salah satu lembaga riset ternama nusantara, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, akibat peleburan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional. Hal ini merupakan bagian dari upaya peningkatan efektivitas penyerapan dana untuk riset dan pengembangan di Indonesia.
Macan Asia yang Abai Riset dan Teknologi
Mengapa, sih, kok perlu dilakukan hal tersebut? Mengapa terjadinya sekarang? Ya, benar! Hal ini terjadi karena upaya riset di Indonesia masih tergolong rendah dan kini beberapa kebijakan diterbitkan oleh pemerintah sebagai untuk membenahi permasalahan tersebut, salah satunya melalui penggagasan UU No. 11 2019 Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan dalamnya, BRIN.
Indonesia memiliki kualitas riset yang rendah relatif terhadap ekonominya yang masif dan relevansi geografisnya dalam ASEAN. Kualitas ini diukur melalui beberapa indikator proxy untuk riset, antara lain reputasi universitas, sumber daya manusia, dan indeks inovasi yang menilai jumlah paten dan koinvensi yang diatribusikan kepada Indonesia. Pada tahun 2021, univesitas di Indonesia yang mencapai pemeringkatan pada posisi 801—1000 teratas Times Higher Education World Rankings hanya Universitas Indonesia. Jumlah peneliti-per-juta-masyarakat di Indonesia 5—35 kali lebih kecil daripada negara-negara tetangganya, yakni pada tahun 2018 berada pada nominal 215 dibandingkan dengan Thailand yang berjumlah 1.350 dan Korea dengan 7.500. Pada Global Innovation Index tahun 2016 oleh Cornell University, INSEAD, dan WIPO, Indonesia mendapatkan peringkat ke-88 dari 128 negara dan keenam dari 10 negara di Asia Tenggara dengan performa inovasi yang terus menurun dari 32 pada tahun 2013 hingga 29 pada tahun 2016.
Tipis dan Makin Tipis: Anggaran Minim dan Overdistribusi
Salah satu faktor yang berkontribusi besar terhadap hal ini adalah permasalahan pendanaan riset. Dana yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sangat minim untuk kegiatan riset. Hal ini ditambah dengan belum matangnya sistem alokasi dana serta konsep, sinergi, dan tujuan pemberian dana itu sendiri. Data dan laporan alokasi dana yang didistribusikan juga sulit untuk diakses sehingga mendapatkan gambaran atas bagaimana persebaran dan prioritas alokasi dananya sulit untuk dilacak. Dengan demikian, terdapat tiga masalah yang dapat digarisbawahi: 1) alokasi rendah, 2) maldistribusi dan mismanajemen, 3) kurangnya sinergi, dan 4) transparansi alokasi.
1. Alokasi GDP rendah
Alokasi GDP (gross domestic product) untuk aktivitas riset di Indonesia masih sangat rendah, padahal tiga perempat pendanaan riset di Indonesia berasal dari pemerintah, berkebalikan dengan negara lain yang umumnya mendapatkan 70% dananya dari lembaga non pemerintah. Meski nominalnya sudah ditingkatkan dari 990 miliar pada tahun 2019 menjadi lima triliun pada tahun 2021, secara persentase masih sangat kecil, yakni sebesar 0,3% dibandingkan dengan negara lain yang umumnya dapat mencapai hingga 3,5% GDP. Menyangkut konteks Lembaga Eijkman, riset dalam bidang kesehatan hanya mendapatkan alokasi sebesar 538 miliar.
2. Maldistribusi dan mismanajemen dana
Konsep sumber dana yang tersentralisasi pada pemerintah dipasangkan dengan disintegrasi lembaga-lembaga yang memiliki kegiatan riset. Tiga besar muara dana ini adalah:
- Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)
- Badan Riset dan Inovasi Negara
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
Adapun lembaga nonpemerintah yang menerima dana antara lain:
- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
- Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
- Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten)
- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
- Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
- Badan Standardisasi Negara (BSN)
Dengan banyaknya lembaga yang menerima dana untuk kepentingan riset, nominal pendanaan yang memang sudah dari awalnya berjumlah kecil didistribusikan dan jumlahnya menjadi makin sedikit. Tentu ini akan membatasi kinerja dari tiap-tiap kegiatan riset.
3. Kurangnya sinergi
Menyambung permasalahan yang terjadi pada poin-poin sebelumnya, hal-hal tersebut sebagian terjadi akibat sistem pengajuan dana APBN yang ada. Kementerian Keuangan hanya bertugas untuk menyetujui permintaan dana yang diajukan oleh lembaga. Namun, lembaga-lembaga yang ingin mengajukan permintaan dana tidak memiliki daya untuk meminta anggaran yang lebih karena adanya ketidakselarasan antara misi-misi riset pemerintah dengan tujuan-tujuan riset lembaga tersebut.
4. Opasitas alokasi
Pada strata distribusi yang kecil, laporan atas penggunaan dana riset sulit untuk dilacak. Hal ini menghambat perkembangan dan juga mengurangi daya evaluasi. Karena adanya keterbatasan pengetahuan atas penggunaan data, evaluasi yang bisa dilakukan hanya berdasar pada Rencana Induk Riset Nasional sehingga didapatkan gambaran penggunaan serta prioritas alokasi dana yang buram dan irrepresentatif terhadap realita.
Mengambil Langkah: Peran Pemerintah
Masalah tersebut merupakan salah satu hal yang ingin diselesaikan (dan tampaknya memang sudah selayaknya) oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan knowledge economy, atau ekonomi yang bertumpu pada aset pengetahuan, seperti properti intelektual. Tentu hal ini bersandar pada ketajaman riset di Indonesia. Niat ini terwujud dalam kebijakan, yakni UU No. 11 Sisnas Iptek, atau Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang di dalamnya tercantum dua kiat yang dirancang untuk mengatasi permasalahan pendanaan, yakni penggagasan BRIN dan juga Dana Abadi Penelitian.
1. Badan Riset dan Inovasi Nasional
Penggagasan BRIN merupakan iktikad pemerintah untuk mengatasi problem adanya disintegrasi penelitian dan administrasi yang jenuh. BRIN dikonsep sebagai suatu badan yang dapat mewadahi lembaga-lembaga dengan kepentingan penelitian. Dengan adanya BRIN, diharapkan jalur administrasi dapat dipangkas dan tujuan penelitian lebih terarah.
2. Dana Abadi Penelitian
Dana Abadi Penelitian merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi hambatan dan miskomunikasi dalam pemberian dana penelitian dengan mengerahkan dana yang terspesialisasi untuk kegiatan riset. Dengan hal ini, alokasi dana untuk riset dapat mengambil jalan pintas dari APBN dan tidak memerlukan distribusi yang berjenjang.
Nah, upaya pemerintah untuk merapikan birokrasi ini berujung pada integrasi dan perampingan lembaga-lembaga riset yang sudah ada, salah satunya Lembaga Eijkman. Meski terlihat menyedihkan dalam sekilas pandang, hal ini merupakan bagian dari rangkaian upaya untuk meningkatkan kegiatan riset di Indonesia.
Mengilas Balik dan Menatap ke Depan: Terus Mengkritik
Sudah dilakukan berbagai upaya untuk melancarkan dan meningkatkan kegiatan riset di Indonesia, antara lain insentif pajak dan juga pendanaan nonpemerintah. Adanya Sisnas Iptek ini merupakan langkah dengan arah tuju yang baik. Namun, perihal pelaksanaan dan realisasinya merupakan hal yang berbeda lagi. Itu tugas kita sebagai masyarakat untuk mengkritisi.